Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedangkan puasa ‘Asyura, aku berharap kepada Allah mudah-mudahan ia bisa menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya.”
Dari Abu Qotadah al-Anshari radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan: Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Bagaimanakah puasa yang anda lakukan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun marah. Tatkala ‘Umar radhiyallahu’anhu melihat kemarahannya, ‘Umar berkata, “Kami ridha Allah sebagai rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi. Kami berlindung kepada Allah dari murka Allah dan murka Rasul-Nya.” ‘Umar terus mengulang-ulang ucapan ini sampai reda kemarahan nabi. Lalu ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimanakah hukum orang yang berpuasa sepanjang tahun (setiap hari, pent)?”. Beliau menjawab, “Pada hakikatnya, dia tidak berpuasa dan tidak berbuka.” Atau beliau berkata, “Pada hakikatnya, dia tidak sedang puasa dan tidak sedang berbuka.” Lalu ‘Umar bertanya, “Bagaimana dengan orang yang sehari berpuasa dan sehari tidak puasa?” Maka beliau menjawab, “Itu adalah puasa Dawud ‘alaihis salam.” Lalu ‘Umar bertanya, “Bagaimana dengan orang yang sehari berpuasa dan dua hari tidak puasa?”. Beliau menjawab, “Seandainya aku sanggup melakukan hal itu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa tiga hari pada setiap bulan, puasa Ramadhan yang satu menuju Ramadhan berikutnya, maka ini senilai dengan puasa sepanjang tahun. Adapun puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah mudah-mudahan ia menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya. Sedangkan puasa ‘Asyura, aku berharap kepada Allah mudah-mudahan ia bisa menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim di Kitab ash-Shiyam [1162])
Faidah Hadits
Hadits yang agung ini menunjukkan disunnahkannya puasa ‘Asyura. Karena di dalamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah mudah-mudahan ia menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya. Sedangkan puasa ‘Asyura, aku berharap kepada Allah mudah-mudahan ia bisa menghapuskan dosa satu tahun sebelumnya.”
Dalil yang menunjukkan bahwa puasa ‘Asyura sunnah (bukan wajib) adalah hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa orang-orang Jahiliyah dahulu biasa berpuasa pada hari ‘Asyura dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpuasa pada hari itu, demikian pula kaum muslimin. Hal itu terjadi sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Tatkala puasa Ramadhan telah diwajibkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyura adalah salah satu hari yang dimuliakan Allah. Barangsiapa yang berkehendak maka silahkan dia berpuasa, dan barangsiapa yang berkehendak maka dia pun boleh meninggalkannya.” (HR. Bukhari di Kitab ash-Shaum [1892] dan Muslim di Kitab ash-Shiyam [1126] ini lafal Muslim)
Dalam riwayat Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari ‘Asyura, barangsiapa yang mau hendaklah dia berpuasa.” (HR. Bukhari di Kitab ash-Shaum [2000])
Imam Nawawi berkata, “Para ulama sepakat bahwa hukum puasa ‘Asyura pada masa ini adalah sunnah, bukan sesuatu yang wajib…” (lihat Syarh Muslim [4/460])
Ibnu Hajar berkata, “Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ bahwasanya puasa ‘Asyura pada masa sekarang ini bukanlah sesuatu yang wajib dan para ulama telah sepakat bahwa hukumnya adalah mustahab/dianjurkan. Dahulu Ibnu ‘Umar memang tidak suka menyengaja puasa di hari ‘Asyura -kecuali bertepatan dengan puasa sunnah yang lain, pent- namun setelah [ijma’] itu pendapat ini menjadi pudar/tidak berlaku.” (lihat Fath al-Bari [4/285])
Anjuran Puasa Sehari Sebelum atau Sesudahnya
al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’ bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah pada hari ‘Asyura dan selisihilah Yahudi. Hendaklah kalian berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (lihat Fath al-Bari [4/284])
Imam Ibnu Hajar juga menyebutkan, bahwa puasa ‘Asyura memiliki tiga tingkatan:
- Puasa pada tanggal 10 saja, ini adalah tingkatan paling rendah
- Puasa pada tanggal 9 dan 10, ini lebih tinggi dari yang pertama
- Puasa pada tanggal 9,10, dan 11. Ini yang paling utama (lihat Fath al-Bari [4/285])
Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil berkata:
السنة والأفضل أن يصوم مع عاشوراء التاسع لما رواه مسلم عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع
“Yang sunnah/dianjurkan dan lebih utama adalah berpuasa selain hari ‘Asyura juga dengan menambah hari yang kesembilan (9 Muharram, pent). Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila tahun depan masih hidup, aku akan berpuasa pada tanggal sembilannya.” (HR. Muslim di Kitab ash-Shiyam [1134]) (lihat Syarh Kitab ash-Shiyam min ‘Umdat al-Fiqh, hal. 8)
Faidah: Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila tahun depan masih hidup, aku akan berpuasa pada tanggal sembilannya.” dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hari ‘Asyura -menurut pendapat yang paling kuat- adalah tanggal 10 Muharram (lihat Fath al-Bari [4/284] cet. Dar al-Hadits)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang disepakati kesahihannya [muttafaq ‘alaih, pent] disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan -umat- untuk berpuasa pada hari tersebut…” (lihat Fatawa Arkan al-Islam, hal. 490)
Catatan Kecil
Syaikh Abdul Muhsin az-Zamil mengatakan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang berisi anjuran untuk menambah puasa pada tanggal 9 Muharram diriwayatkan oleh Muslim.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menyebutkan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas tentang anjuran puasa ‘Asyura adalah hadits yang disepakati Bukhari dan Muslim, yaitu dengan istilah muttafaq ‘ala sihhatihi atau muttafaq ‘alaih. Maka patut untuk dicermati bersama, bahwa yang beliau maksud hadits Ibnu ‘Abbas di sini berbeda dengan hadits Ibnu ‘Abbas yang dimaksud oleh Syaikh Abdul Muhsin az-Zamil di atas.
Hadits Ibnu ‘Abbas yang dimaksud oleh Syaikh al-Utsaimin adalah hadits yang berisi anjuran puasa ‘Asyura itu sendiri. Adapun hadits Ibnu ‘Abbas yang dimaksud oleh Syaikh Abdul Muhsin az-Zamil adalah hadits yang berisi anjuran untuk menambah puasa pada tanggal sembilan Muharram setelah puasa ‘Asyura pada tanggal sepuluhnya.
Imam Nawawi di dalam Riyadhush Shalihin menyebutkan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas -yang berisi anjuran puasa ‘Asyura- adalah muttafaq ‘alaih (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, cet. Dar al-Bashirah [3/410]). Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi menjelaskan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas ini diriwayatkan oleh Bukhari [2004] dan Muslim [1130] (lihat Riyadhush Shalihin cet. Dar Ibnul Jauzi dengan tahqiq beliau, hal. 434).
Kemudian, apabila kita cek langsung ke dalam Kitab Sahih Bukhari, kita akan menemukan hadits Ibnu ‘Abbas tersebut tercantum pada Bab Puasa Hari ‘Asyura di Kitab ash-Shaum [2004] (lihat Sahih al-Bukhari cet. Maktabah al-Iman, hal. 411).
Dari keterangan pen-tahqiq Syarh Muslim [4/465] kita pun mengetahui bahwa Imam Bukhari juga menyebutkan hadits ini di tempat-tempat yang lain :
- Di Kitab Ahadits al-Anbiya’, Bab Firman Allah (yang artinya), “Apakah telah datang kepadamu kisah tentang Musa.” [3397] (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 712)
- Di Kitab Manaqib al-Anshar, Bab Kedatangan Yahudi Menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Tatkala Beliau Datang Ke Madinah [3943] (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 824)
- Di Kitab Tafsir al-Qur’an, Surat Yunus. Bab Firman Allah (yang artinya), “Dan Kami menjadikan Bani Isra’il berhasil melalui lautan dan Fir’aun mengikuti mereka…” [4680] (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 972)
- Di Kitab Tafsir al-Qur’an, Surat Thoha. Bab Firman Allah (yang artinya), “Sungguh telah Kami wahyukan kepada Musa; hendaklah kamu pergi bersama hamba-hamba-Ku di malam hari…” [4737] (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 992)
Di dalam Sahih Muslim [1130] hadits ini juga disebutkan Imam Muslim melalui berbagai jalan periwayatan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma (lihat Syarh Muslim [4/465-466]).
Lafal hadits Ibnu ‘Abbas yang menunjukkan anjuran puasa ‘Asyura ini adalah, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan [umat] untuk berpuasa pada hari itu.” (Muttafaq ‘alaih) (lihat Syarh Riyadhus Shalihin [3/410], Riyadhush Shalihin cet. Dar Ibnul Jauzi dengan tahqiq Syaikh Ali al-Halabi, hal. 434 dan at-Targhib wa at-Tarhib [1/438] editor Syaikh Masyhur Hasan Salman)
Penutup
Demikianlah sekelumit catatan yang bisa kami nukilkan ke hadapan para pembaca dengan segenap kekurangan yang kami miliki. Semoga Allah memberikan kepada kita taufik untuk mengamalkan ilmu yang kita dapatkan, mengampuni dosa-dosa kita, dan Allah memanggil kita dalam keadaan ridha kepada kita dan tidak murka.
Tsabit al-Bunani berkata, “Beruntunglah orang yang mengingat saat-saat datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat kematian kecuali pasti akan tampak pengaruhnya pada amal yang dilakukannya.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, karya Syaikh Abdul Malik al-Qasim, hal. 23-24)
Nas’alullahat taufiq was sadaad.